Outbound di Jogja

Outbound di Jogja
Looking for Outbound Training

Kamis, 05 Mei 2016

TOPONIM : SEJARAH KAMPUNG SOROWAJAN DESA PANGGUNGHARJO, KECAMATAN SEWON, KABUPATEN BANTUL

TOPONIM : SEJARAH KAMPUNG SOROWAJAN
DESA PANGGUNGHARJO, KECAMATAN SEWON, KABUPATEN BANTUL

SOROWAJAN KAMPUNG UKM
Sorowajan adalah nama kampung yang unik. Kampung yang berbatasan langsung dengan Ring road selatan ini, secara administratif masuk wilayah Pedukuhan Glugo, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Kegiatan ekonomi dan pekerjaan utama penduduk kampung Sorowajan ini adalah bergerak dibidang UKM, baik sebagai produsen, jasa maupun berjualan membuka warung kecil untuk kebutuhan masyarakat sekitar. Maka dapat dikatakan bahwa Kampung Sorowajan adalah merupakan kampung mandiri secara ekonomi, karena semua kebutuhan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari dapat disediakan dan didapat dikampung ini, sehingga sebenarnya masyarakat tidak perlu keluar kampung untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-harinya, baik kebutuhan primer seperti : peralatan sabun cuci, sabun mandi, warung siap santap, warung kelontong, sembako, warung sayur, bahkan untuk kebutuhan sekunder seperti tas, kios pakaian, penjahit dan konveksi, sepatu dan sandal, meubel dan dan lain-lain. Di bidang jasa, di kampung ini juga bisa didapatkan jasa laundry, bengkel motor, tambal ban, tukang kayu, tukang batu, tukang cat dan melamine, juga penjahit pakaian baik untuk produk massal maupun skala konveksi. Usaha lainnya yaitu : Industri Tahu Tempe, Industri Jamu Tradisional, Industri Tas Seminar, Industri Kaos, Konveksi, Batik, Kerajinan Rajutan, Kerajinan Kulit, Jok Kursi, Grosir Sepatu, Ternak Burung Berkicau, Usaha Bahan Bangunan, Usaha pemancingan, dan lain-lain. Warga Kampung Sorowajan juga berjualan aneka makanan, seperti : Mie Ayam, Bakso, Sate Ayam Madura, Warung Angkringan, Warung Gorengan, Bakwan Kawi, Gudheg, Lotek, Soto, Burger, Ice Juice, Ice Cream, Cilok Bledek, Aneka panganan dan jajanan pasar, Bubur Sumsum, Klepon, Es Kelapa Muda, disamping itu juga banyak pedagang makanan keliling yang menjajakan dagangannya di Kampung Sorowajan ini, seperti Tahu Bulat, Siomay, Batagor, Empek-Empek, Burjo, Buah potong, Es Doger, Es Jaipong, Ronde, dan lain-lain.
Jadi secara ringkas tinggal di Kampung Sorowajan segalanya tersedia di kampung ini, baik untuk kebutuhan primer maupun sekunder.
SEJARAH KAMPUNG SOROWAJAN
Sebelum adanya kampung Sorowajan sekarang ini, cikal bakal kampung ini adalah dikenal adanya sebuah Pesanggrahan Klundo yang sekarang berada di wilayah RT 12, dimana berdiam Pangeran Soro atau Syech Noor. Klundo adalah kependekan dari Kluwih-Bendo, dimana ditempat tersebut dahulu pernah ada pohon kluwih tetapi bagian cabangnya menjulang 2 macam, yang sebelah tetep berbentuk kluwih tetapi cabang yang lainnya berbentuk pohon bendo baik buah maupun daunnya. Bendo adalah pohon sejenis sukun-sukunan tetapi permukaan kulitnya runcing dan buahnya lebih mirip nangka, daunnya berbentuk bulat seperti daun jati (kluwih dan sukun daunnya menjari), buahnya mirip kluwih tetapi manis dan wangi seperti cempedak, bentuk dagingnya putih dengan biji berbentuk bulat seperti biji kluwih, sedangkan nangka atau cempedak dagingnya berwarna kekuningan dengan biji bulat memanjang.
Ditilik dari nama dan gelarnya, beliau adalah seorang keturunan bangsawan dan bahkan putra dari seorang raja yang bertahta, namun tidak ada keterangan secara jelas, dan tidak ada keluarga dari keturunan beliau yang sekarang menjadi warga dan mendiami di Kampung Sorowajan ini. Disamping makam beliau yang telah direnovasi pada tahun 1978, peninggalan beliau adalah belik sorowajan, yaitu sebuah mata air yang terus mengalir dan tak pernah berhenti meskipun musim kemarau panjang. Peninggalan lain adalah Pekuburan Klundo dimana beliau disemayamkan, termasuk dimakamkan di sini adalah Keluarga Lurah Krapyak R. Ponco Inggeno (Salah satu kelurahan sebelum penggabungan menjadi Kelurahan Panggungharjo pada tahun 1946). Siapakah sejatinya Pangeran Soro atau Syech Noor ini...?
Ada sementara warga Sorowajan yang berpendapat bahwa Pangeran Soro atau Syech Noor adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Tapi cerita ini segera terbantahkan, karena nama “Syech” pada waktu itu hanya digunakan oleh bangsawan atau ulama Keturunan Arab / Timur Tengah.

Cerita lain, beliau adalah bangsawan dari kerajaan Banten. Pada waktu itu hubungan Kerajaan Banten dengan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo terjalin sangat baik, bahkan salah satu istri Sultan Agung yaitu Ratu Kulon adalah Putri dari Kerajaan Cirebon yang masih saudara dari Kerajaan Banten yaitu keduanya adalah putra dari Sunan Gunung Jati. Tetapi pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I hubungan antar kerajaan itu memburuk. Kemudian cerita ini mengalir, bahwa Pangeran Soro adalah salah satu dari putra kerajaan Banten atau Kerajaan Surosowan. Untuk mengaburkan keberadannya beliau memakai nama Pangeran Soro yang merupakan kependekan dari nama Pangeran Surosowan. Sedangkan nama gelar Syech Noor, diambil dari gelar Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) yaitu Syeh Nurullah. Maka jelaslah sudah, bahwa Pangeran Soro atau Syech Noor adalah putra dari Kerajaan Banten Surosowan, yang juga merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Bagaimana seorang Pangeran dari kerajaan Banten bisa sampai di Mataram. Ada 3 versi tentang kedatangan beliau di tanah Mataram. Versi pertama menyebutkan pada tahun antara 1655-1658 di mana pada waktu itu Pangeran Soro merupakan utusan dari Sultan Ageng Tirtayasa (Raja ke 6) dari Kerajaan Surosowan Banten, maksud kedatangannya di Mataram adalah untuk meminta bantuan kepada Mataram dalam perang melawan VOC di Batavia, sebagaimana diketahui bahwa Mataram di masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo pernah menyatakan perang melawan VOC di Batavia pada tahun 1628-1629. Namun permintaan bantuan dari Pangeran Soro ini ditolak oleh Sunan Amangkurat I yang pada masa itu justru malah berhubungan baik dengan VOC, dan karena kegagalannya ini Pangeran Soro sebagai pimpinan delegasi/utusan merasa malu untuk kembali ke Kerajaan Banten, dan memilih tinggal di kawasan Mataram.
Versi ke dua menyebutkan bahwa kedatangan Pangeran Soro ke Mataram pada tahun 1677 dalam tugas untuk membantu Kerajaan Cirebon membebaskan 2 putera Pangeran Giriloyo (Sultan Cirebon) yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ditahan oleh Pemberontakan Trunajaya
Versi ke tiga sebenarnya adalah penggabungan dari kedua versi sebelumnya, yakni bahwa Pangeran Soro adalah bagian dari pasukan teliksandi/pasukan intelijen, sehingga keberadaanya di Kerajaan Mataram sangatlah bersifat rahasia, beliau tidak menampakkan diri secara mencolok dan tinggal di daerah pinggiran Kerajaan Mataram. Secara rutin beliau wajib menyampaikan laporan kepada Kerajaan Banten tentang perkembangan politik dan pemerintahan yang terjadi di Kerajaan Mataram. Ketika kedatangan pasukan Banten untuk membebaskan putra Pangeran Giriloyo (Sultan Cirebon) yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ditahan oleh Pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677 Pangeran Soro sebagai pasukan telik sandi aktif menyampaikan perkembangan yang terjadi dan memberikan pertimbangan-pertimbangan mengenai jalur penyerangan dan strategi pembebasan sandera tersebut.
Dari ketiga versi tersebut, dapat disimpulkan bahwa versi ketiga merupakan rangkaian cerita yang paling bisa diterima. Informasi ini juga akan menjawab, mengapa seorang Pangeran dari kerajaan Banten berada dan tinggal di Kampung Klundo ? Daerah kampung Klundo pada tahun 1605 (Taman Danalaya - Serat Kandha) merupakan bagian dari bantaran aliran sungai kecil buangan dari mata air “segaran krapyak” yang memiliki legenda berhubungan dengan “pemandian umbul krapyak”, yang merupakan bagian dari alas krapyak paberingan yang pada tahun 1611 - 1613 digunakan sebagai daerah wisata berburu oleh Sultan Hanyokrowati atau yang dikenal sebagai Pangeran Sedo Krapyak (Raja ke 2 Mataram yang bertahta di Keraton Kotagedhe). Secara geografis daerah ini merupakan daerah pinggiran kerajaan Mataram, maka sebagai pasukan telik sandi bisa mengamati perkembangan kerajaan Mataram di Pleret, karena pusat kerajaan hanya sekitar 8 km, jika berjalan kaki dapat ditempuh sekitar setengah hari (4-6 jam). Topografi daerah kampung Klundo agak tinggi sekitar satu meter dari badan air aliran sungai, perbedaan topografi itu sampai sekarang masih sangat kelihatan, bahkan di sebelah timur daerah segaran krapyak dikenal sebagai “kampung gunungan” karena perbedaan topografi yang sangat mencolok itu. Perbedaan elevasi tanah inipun dinilai sangat strategis sebagai daerah persembunyian dan pertahanan. Disamping itu wilayah ini juga tidak pernah kekurangan air dan tanahnya sangat subur, cocok untuk lahan pertanian dan ikan juga bisa didapatkan dengan mudah disini, sampai dengan tahun 1990an masih banyak kita jumpai ikan gabus, sepat, wader, cethul, uceng, belut, dan lain-lain. Kondisi alam yang sepertri ini dinilai sangat strategis karena bisa mencukupi hidup bagi Pangeran Soro sebagai pasukan telik sandi sehingga tidak perlu ke pusat kota atau ke pasar untuk membeli bahan makanan.

Keberadaan belik sorowajan sebagai peninggalan dari Pangeran Soro juga menjadi bukti bahwa daerah ini merupakan daerah yang subur dan mata airnya tidak pernah surut meskipun di musim kemarau. Fenomena geologis pada masa lampau dapat dilihat dan diamati pada mata air di belik sorowajan ini, dimana pada tahun 1990an airnya masih cukup jernih tetapi, sekarang airnya mengeluarkan gelembung-gelembung berwarna hijau kekuningan, yang merupakan indikasi adanya gas metan yang keluar bersama mata air. Gas metan merupakan indikasi adanya suatu lapisan batubara muda dibawah permukaan, dimana pada jaman dahulu daerah ini merupakan bagian dari daerah rawa-rawa. Menurut legenda masyarakat, bahwa daerah segaran krapyak yang berada diatas/sebelah utara kampung Klundo pada jaman dahulu airnya terasa asin, fenomena air asin ini secara geologis mengindikasikan bahwa ada jebakan air laut karena proses pengangkatan sebagaimana daerah danau purba yang ada di sekitar Candi Borobudur.

Jadi pada waktu Pangeran Soro tinggal ditempat ini dapat digambarkan bukanlah sebuah hutan belantara tetapi sebuah lingkungan yang asri dan indah, yaitu sudah berupa hamparan lahan pertanian kecil yang subur disamping aliran sungai kecil dengan mata airnya yang jernih dan banyak ikannya. Secara geografis, meskipun berada di daerah pinggiran, namun posisinya sangat strategis karena berada diantara pusat-pusat keramaian pada jaman itu yaitu : Kerajaan Mataram Kotagedhe, Kerajaan Mataram Pleret, Pesanggrahan Ngeksigondo, Perdikan Mangir, dan tempat wisata berburu hutan krapyak paberingan (yang kemudian direncanakan akan dibangun sebagai Garjitowati).
SIMPULAN
Kesimpulan akhir tentang toponim Kampung Sorowajan dan jati diri Pangeran Soro atau Syech Noor, bahwa keberadaan Kampung Sorowajan berhubungan dengan nama cikal bakal Kampung Sorowajan adalah seorang prajurit telik sandi atau intelijen dari Kerajaan Surosowan di Banten yang diberi tugas untuk mengamati, mengawasi, dan melaporkan perkembangan keadaan politik dan pemerintahan Mataram, serta bisa memfasilitasi dan membantu merancang strategi pertahanan dan penyerangan ke Mataram pada saat pembebasan tahanan putera Pangeran Giriloyo (Sultan Cirebon) yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ditahan oleh Pemberontakan Trunajaya.
Berdasarkan uraian di atas, maka Pangeran Soro atau Syech Noor bertempat tinggal di Kampung Klundo yang kemudian dikenal sebagai Kampung Sorowajan diantara tahun 1655 – 1677. Jika dirunut secara kronologis kebelakang, sebagai pasukan telik sandi yang mumpuni / dipercaya secara professional, beliau pada saat itu berumur sekitar 35 tahun, jadi beliau lahir sekitar tahun 1620an. Kemudian jika dirunut ke depan berdasarkan usia general manusia pada umumnya secara rata-rata pada waktu itu adalah 80 tahun, maka beliau wafat pada sekitar awal tahun 1700an. Pada tahun ini, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram sudah dipindahkan dari Keraton Pleret ke Keraton Kartasura, dimana Raja yang berkuasa pada waktu itu adalah pemerintahan Sunan Amangkurat III ( 1703 – 1704 ) atau Sunan Pakubuwana I / Pangeran Puger ( 1704 – 1719 ). Jadi beliau tinggal di wilayah Mataram diantara masa pemerintahan Sunan Amangkurat I dan Sunan Amangkurat II, jauh sebelum Kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi / Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755.
Pada batu nisan Pangeran Soro atau Syech Noor tertulis dibangun pada tanggal 06 April 1976, menurut penuturan masyarakat sekitar dibangun oleh seseorang yang bernama Romo Gandung yang pada waktu itu berdomisili di Kampung Brontokusuman Yogyakarta, berdasarkan wisik atau bisikan gaib yang memerintahkan Romo Gandung untuk mencari makam seorang bangsawan yang sakti untuk dapat dibangun semestinya sesuai dengan jasa-jasa dan martabatnya agar dapat dikenang oleh masyarakat.
Tulisan ini didapatkan dari penuturan masyarakat dan kajian dari beberapa artikel yang dimuat di situs internet, disusun secara kronologis dan dikembangkan sehubungan dengan kepentingan penyusunan identitas dan toponim Kampung Sorowajan Pedukuhan Glugo Desa Panggungharo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul. Pada perkembangannya tulisan ini dapat dikoreksi ataupun diluruskan apabila didapat bukti dan fakta-fakta yang lebih mendukung.

Tidak ada komentar: